KULIAH UMUM DI JURUSAN S1 HUKUM UBB, PROFESOR UB BAHAS HUKUM ADAT DI KUHP BARU

Berbeda dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) lama , KUHP baru mengakomodasi berlakunya hukum adat di Indonesia, sebagaimana tertuang pada Pasal 2. Beberapa pihak mengapresiasi KUHP yang mencantumkan living law di dalamnya, dan menganggap ini sebagai salah satu bentuk pemuliaan terhadap hukum adat. Di sisi lain, tidak sedikit pula pihak yang menganggap dimasukkannya hukum adat di KUHP baru justru menimbulkan masalah baru. Hal ini dibahas lanjut dalam kuliah umum Jurusan S1 Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) dengan tema “Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana”, Senin, 13 November 2023, bertempat di Ruang Video Conference Fakultas Hukum UBB.

Hadir sebagai pemateri, yakni Prof. I Nyoman Nurjaya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dam dibuka langsung oleh Dekan FH UBB, Dr. Derita Prapti Rahayu. Acara dipandu oleh Toni, Jurusan S1 Hukum UBB dengan program peminatan hukum pidana. Para peserta aktif bertanya pada sesi diskusi yang digelar di penghujung acara.

Ketua Jurusan S1 Hukum UBB, Darwance, mengatakan, kuliah umum ini bertujuan agar mahasiswa mendapatkan ilmu secara langsung mengenai hukum adat, termasuk hukum pidana adat, yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia selama ini. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan dapat mengetahui dan memahami posisi dan konstruksi hukum adat dalam pembaruan hukum pidana melalui KUHP baru.

“Hal penting lainnya, mahasiswa harus mengetahui dan memahami omplikasi yuridis berlakunya hukum pidana adat terhadap pelanggaran hukum adat di masyarakat hukum adat di Indonesia setelah berlakunya KUHP baru nanti,” tegasnya.

Prof. I Nyoman Nurjaya saat memaparkan materi mengatakan bahwa secara konstitusional, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya secara hukum. Ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI TAHUN 1945. Disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan republik indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal ini lantas dipertegas kembali melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat,” tegasnya.

Ia menambahkan, Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini. Di samping itu, merujuk pada Pasal 2 Ayat (2), bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

“Ditegaskan oleh Pasal 597 bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana, yakni pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Ayat (1) huruf f,” tandasnya (*).